Sunday, July 30, 2017

Perintah Saling Menasehati

Saling mengingatkan dalam hal kebaikan adalah kewajiban sesama muslim. Dalam Islam, mengingatkan orang lain secara lisan semacam itu biasa disebut dengan nasihat, wasiat, tausiyah, mau’izah, dan tazkirah (peringatan). Istilah umumnya adalah ceramah. Kegiatan menyampaikan taushiyah demikian disebut tabligh (menyampaikan), sehinga istilah Tablig Akbar itu maksudnya adalah acara ceramah yang dikemas secara meriah dan dihadiri oleh banyak jamaah. Semua kegiatan itu adalah bagian dari dakwah, yaitu dakwah billisan (secara lisan), karena hanya berupa ceramah, sedangkan dakwah bukan hanya melalui lisan. Para penceramah agama itu biasa disebut mubaligh (juru tablig) atau Da'i (juru dakwah).

Kesalahan dan kealpaan dapat terjadi pada siapa saja, baik mubaligh atau jamaah. Oleh karena itu, kewajiban berdakwah bukan hanya bagi orang yang bisa ceramah saja, melainkan bagi seluruh umat Islam, “sampaikan dariku meski hanya satu ayat”, begitu arti sabda nabi terkait dengan kewajiban dakwah. Terus bagaimana caranya? Mengingatkan saudara yang berbuat salah atau lupa tidak harus dengan berceramah, apalagi kepada ustadz yang berceramah, cukup sampaikan seperlunya.

Dari kewajiban dakwah itulah lahir istilah saling berwasiat atau saling menasihati. Allah Swt. menegaskan perintah tersebut, salah satunya surat al-‘Ashr: “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal soleh, dan saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran” (Q.S. al’Asr/103:1-3).

Apa yang disampaikan dalam memberi nasihat atau tausiyah? Materi pertama yag harus disampaikan dalam berdakwah adalah ajakan untuk menyembah Tuhan Yang Esa, yaitu Allah Swt..

Perhatikan nasihat Luqman kepada anaknya pada firman Allah dalam Q.S.Luqman/31:13-14 berikut:
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” .

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, hanya kepada-Ku lah kembalimu” (Q.S.Luqm±n/31:13-14).



Friday, July 28, 2017

Salim Maula Abu Hudzaifah (Sahabat yang Syahid Bersama)

Salim Maula Abu Hudzaifah (Sahabat yang Syahid Bersama)
Salim pada mulanya hanyalah seorang budak. Ia dijadikan anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka bernama Abu Hudzaifah bin 'Utbah. Ketika Islam menghapus kebiasaan memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudara serta maula (hamba yang dimerdekakan) bagi orang yang memungutnya.

Salim, Maula Abu Hudzaifah masuk Islam. Tidak ada lagi yang mempersoalkan statusnya. Berkat ketakwaan dan keikhlasannya, ia memiliki kedudukan yang layak di tengah masyarakat.

Salim memiliki banyak kelebihan. Kelebihannya yang paling menonjol adalah mengumakakan apa yang dianggapnya benar seacara terus terang. Selama memeluk Islam,  persaudaraannya dengan Abu Hudzaifah semakin erat dan selalu mendampingi Rasulullah didalam peperangan.

Saat Abu bakar menjadi khilafah, terjadilah perang Yamamah. Salim dan Abu Hudzaifah turut serta dalam peperangan itu. Bersama pasukan Islam, keduanya berjuang mempertahankan Islam hingga titik darah penghabisan. Dalam perang tersebut, Salim dan Abu Hudzaifah meninggal sebagai Syuhada.


Saturday, July 8, 2017

Cerahkan Hati Nurani dengan Saling Menasehati

Manusia dianugerahi oleh Allah Swt. nafsu yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan (positif ) dan kejahatan (negatif ). Firman Allah: “maka Allah mengilhamkan kepadanya (nafsu) kejahatan dan ketakwaannya”. (Q.S.asy-Syams/91:8). Dengan nafsu itulah manusia dapat meraih martabat tertinggi ketika potensi positif nafsunya sedang optimal. Ia pun dapat terjerembab ke dalam kehinaan, bahkan di bawah martabat binatang, ketika potensi negatif nafsunya sedang berperan, sehingga perilakunya dibimbing oleh nafsu negatif itu. Firman Allah: “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, kemudian Kami kembalikan dia kepada derajat yang paling rendah” [Q.S. at-Tin /95:4-5 ].

Pada saat manusia terlena karena mengkuti nafsunya itulah ia membutuhkan teguran dan peringatan dari orang lain, supaya sadar dan kembali kepada kebaikan. Itulah kondisi “alpa” atau “kesalahan” yang menjadi ciri khas manusia. Sabda Rasulullah: “Semua manusia adalah pendosa, dan sebaik-baik pendosa adalah yang mau beratubat”.

Hebatnya lagi, kesalahan dan kealpaan itu pun dapat mempercepat laju manusia mencapai derajat tertinggi, yaitu ketika mereka bertaubat dan menyesali dosa-dosanya yang telah dilakukannya. Sabda Rasulullah: ”orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang bersih dari dosa”.

Pada saat manusia tidak mampu mengenali dirinya dan tidak merasa berbuat dosa, karena enggan bermuhasabah (introspeksi diri), ketka itulah nasihat dan teguran orang lain diperlukan. Oleh karena itu, di samping ada ajaran kontrol diri, evaluasi diri/introspeksi (muhasabah), Allah Swt. mengajarkan kita untuk mengontrol orang lain sebagai sumbangsih dan bentuk kepedulian terhadap sesama. Saling menasihati (tausiyyah) ini adalah salah satu bentuk dakwah, yaitu dakwah billisan (dengan kata-kata), yaitu menyampaikan nasihat kebaikan secara lisan. Sayangnya, kalau kita sedang berbuat dosa (misal: ghibah), kemudian ada teman yang menasihati atau mengingatkan supaya meninggalkannya, kebanyakan kita masih menganggap bahwa teman kita sedang “usil” atau “campur tangan”, padahal itu merupakan bentuk kepedulian dan kasih sayang kepada sesama.


Monday, July 3, 2017

Pandangan Ulama (Intelektual Muslim) tentang Demokrasi

Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut:
1. Abul A’la Al-Maududi
Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).

2. Mohammad Iqbal
Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal adalah demokrasi seperti yang dipraktekkan di Barat.

Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
a) Tauhid sebagai landasan asasi.
b) Kepatuhan pada hukum.
c) Toleransi sesama warga.
d) Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
e) Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.

3. Muhammad Imarah
Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya).

Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’raf/7:54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

4. Yusuf al-Qardhawi

Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut:
a) Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya.

b) Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.

c) Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.

d) Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.

e) Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

5. Salim Ali al-Bahasnawi

Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram.

Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai
berikut:
a) Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt..
b) Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugastugas lainnya
c) Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur'an dan Sunnah (Q.S.an-Nisa/4:59) dan (Q.S.al-Ahzab/33:36).
d) Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.


New Post

Mengikuti Bacaan Muazin

Mengikuti Bacaan Muazin - Jika seseorang mendengar azan, hendaknya dia mengikuti bacaan tersebut berdasaran sabda Nabi Saw., "Jika ...

Pages - Menu